Gerimis masih
saja menyelimuti kota jambi, sudah hampir 2 jam ia masih betah berjatuhan
dengan malas kepada penduduk bumi. Bau debu yang tersiram air merebak ke
berbagai penjuru, daun-daun tua yang sudah mengering dengan lemahnya
berjatuhan, menemani rintik hujan yang dengan pasrah membasahi tanah. Tunas-tunas
daun kelapa bergoyang perlahan, di temani burung-burung gereja yang terbang
kesana kemari menghindari rintikan air, pertunjukkan alam yang alami. Ditemani suara
tape yang memutarkan musik dangdut milik seorang tetangga, menambah semaraknya
senja ini.
Suara langkah
kakiperlahan menyusup ke pertunjukan. Suaranya terlihat semakin jelas, bukan
sendiri, tapi tiga..ya, tiga orang, tapi suaranya lemah..mungkin anak-anak yang
mandi hujan. Tapi seketika suara itu berhenti, berganti dengan suara brolan
bocah-bocah. Ku balikkan badanku yang sedari tadi sibuk dengan Al-Qur’an,
kulihat keluar jendela, sekilas yang kulihat adalah tiga orang anak laki-laki
yang berusia kira-kira 9 tahun, seorang memakai baju kaos hitam memegang box,
seorang lagi memakai baju putih yang memegang plastik hitam dan membawanya
menggantung di punggung, dan yang terakhir berbaju kaos hijau menjinjing termos
es kecil. Sedang apa mereka di tengah gerimis ini? Pikiranku terus
bertanya-tanya, ditemani dengan mataku yang terus memperhatikan mereka
diam-diam.
Mereka terus berjalan,
sayup-sayup kudengar anak yang berbaju hitam mengeluarkan suara, pelan dan tak terdengar,
seolah suaranya di telan oleh gemericik gerimis yang mulai lebat..”pempek..pempek...pempek..pempek..”
kata bocah itu.
aku menatap
mereka, dengan pikiran yang aneh, 3 bocah? Di tengah gerimis ini? Dengan baju
basah kuyup? Dan keadaan puasa? Berjualan?
Aku mencoba
menjawab pertanyaanku sendiri, tapi tetap saja, ia hanya sebatas prasangka. Tanpa
buang waktu, aku merogoh uang dalam laci kamarku, sedikit berlari aku berlari
keluar rumah, dan dengan suara yang aku keraskan aku panggil mereka ...”dek..pempeknya
dek..dek..”.. teriakku.
Salah seorang
dari mereka menoleh, aku membalas dengan lambaian tangan. Aku berlari kedapur
untuk mengambil mangkuk. Sambil mengambil pempek yang kubeli, aku memperhatikan
pahlawan-pahlawan keluarga dihadapanku ini. Tiga orang anak laki-laki dengan
baju yang lusuh, badan yang basah kuyup, membawa dagangan yang nyaris masih
utuh..dan,,heii lihat lah, efek puasa sambil berdagang dengan ditemani hujan
dan perjalanan yang jauh ini, membuat mereka bertiga flu. Dalam hitungan detik
entah berapa kali mereka menarik cairan yang terus saja keluar dari hidung
mereka.
Sambil terus
mengambil pempek yang kubeli, salah serang dari mereka mengeluarkan cuka/ kuah pempek,
yang lain memasukkan uang kedalam termos sekaligus tempat mereka menyimpan
plastik untuk pembeli yang ingin di bungkus pempeknya dan yag lain dengan
telaten melayani ku sebagai pembeli, sangat sederhana, tapi begitulah kesulitan
mengajarkan mereka untuk terus kompak dan bersinergi, tak saling memarahi
karena salah seorang menjalankan tugas dengan salah.
“ini uangnya ya”
“iya kak, makasih
ya kak”..kata anak yang berbaju hitam sambil mengemasi dagangan mereka.
Dalam beberapa
detik, aku masih bermain dalam fikiranku sendiri, jika dilihat-lihat sekarang
masih menunjukkan pukul 14.45 WIB. Masih beberapa jam lagi waktu menuju
berbuka, yang terlihat pasti adalah mereka berharap dagangannya akan cepat
laris, dan cepat pulang karena tubuh
mulai menggigil di tambah pilek yang seolah-olah untung yang mereka
dapat tak sebanding dengan letih dan sakit yang harus mereka keluarkan.
Maka, nikmat
Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Aku menutup
pintu, dan membiarkan hikmah –hikmah ini berbaris rapi dalam episode berikutnya
sebagai pelajaran yang tak terbantahkan.
Komentar
Posting Komentar