A . Latar
belakang masalah
Dalam duni modern ini, aplikasi syukur sangat mutlak diperlukan.
Namun , dalam kenyataannya, syukur hanya dijadikan simbol belaka tanpa aplikasi
berarti. Syukur hanya di identikan dengan ucapan Alhamdulillah tanpa ada pengimplementasian
secara nyata. Akibatnya, sebagian orang cenderung hidup dengan sikap
individualis.
Ada bebarapa penyebab yang mengakbatkan syukur kurang teraplikasi
atau diabaikan oleh mayarakat, diantaranya pemahaman mereka akan bahaya kufur
nikmat dan bagaimana cara menunjukkan syukur. Ada orang yang bersyukur hanya
dengan berucap Alhamdulillah, ada pula yang sama sekali tidak pernah berucap
dan lupa akan kewjibannya ketika mendapat nikmat Allah itu.
Tidak mengakui nikmat Allah diketahui dapat memberikan pengaruh
penyakit peradaban bagi masyarakat. Orang yang tidak bersyukur akan menjadi orang
yang sombong, takabbur dan sentiasa menzalimi orang lain. Akibatnya mereka
dibenci Allah, jauh dari rahmat Allah swt dan tidak disukai oleh orang lain..
Orang yang tidak bersyukur akan menjadi orang yang tamak, dan orang yang tamak
ini sememangnya orang yang dicela. Tidak pernah merasa cukup yang akhirnya
sikap tamak tersebut menjerumuskan mereka kedalam kancah maksiat dan kemurkaan
Allah swt. Menzalimi dan menganiaya orang lain.
A.
Rumusan masalah
Apakah akibat yang dirtimbulkan dari rasa kufur
nikmat dalam masyarakat secara nyata?
B.
Tujuan
penelitian
Untuk
mengetahui akibat dari rasa tidak bersyukur dalam masyarakat danbentuk-bentuk
dari kufur nkamt itu sendiri dalam masyarakat
Analisis
Dewasa ini,
kultur masyarakat yang masih memegang norma-norma tradisional, namun sudah ada
beberapa poin dalam masyarakat yang mulai terpengaruh oleh kultur atau budaya
asing. Memang tidak se-ekstrem masayarakat individuals atau liberalis, namun
datangnya budaya asing ini mampu merubah konsep masyarakat yang selama ini
berpegang teguh pada norma-norma agama dan masyarakat.
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah
telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di
bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
Kataسَخّ((( sakhkhara
berarti menundukkan sesuatu sehingga melakukan apa yang dikehendaki oleh
yang menundukkannya. Yang menundukkan alam raya ini adalah Allah SWT.
Penundukannya terhadap manusia, Allah menundukannya dengan hukum-hukum alam,
lalu manusia diilhami-Nya pengetahuan sehingga mampu menggunakan hukum-hukum
alam itu untuk menjadikan alam dapat melakukan apa yang dikehendaki manusia
atas izin Allah.
Selanjutnya, karena penundukkan Allah itu dimaksudkanNya untuk
kepentingan manusia, maka Allah memberikan kewenangan dan kemampuan untuk
mengelola alam raya. Dia Yang Maha Kuasa itu memerintahkan manusia untuk
melaksanakannya sesuai dengan “konsep”yang dikehendakinnya. Namun dalam saat
yang sama”konsep” itu menjadi ujian bagi manusia. Dia dapat melaksanakannya dan
untuk itu mendapat ganjaran, atau mengabaikannya dan ini mendapat kesengsaraan
paling tidak di akhirat nanti[1].
Dalam penjelasan ayat ini menurut Quraish Shihab dalam Al-Misbahnya
mengatakan Allah memberikan kewenangan
dan kemampuan bagi manusia untuk mengolah alam raya ini dengan konsep yang dikehendakinya.
Jika kita melihat kondisi ini, aplikasi syukur yang dimilki masyarakat hanya
sebatas ucapan Alhamdulillah, hal ini di buktikan dengan semakin kecilnya rasa
‘mengelola alam’ raya ini yang dimiliki masyarakat. Bukan menjadi sebuah
rahasia umum lagi bahwa masyarakat sekarang lebih senang menghabisi
nikmat-nikmat yang terkandung di alam daripada belajar untuk memperbaharui.
Banjir yang hampir sering terjadi di setiap kecamatan di kota tempat kita tinggal
menjadi sebuah bukti bahwa masyarakat sudah tak lagi memperdulikan perkembangan
alam yang semakin rusak. Di tempat saya tingal, belum satu bulan kali(sungai)
yang mengalir di pinggir kampung kami di perbaiki pemerintah dan sampah-sampah
yang berada disekitarnya di bersihkan hingga tak bersisia, agar air sungai yang
meluap tidak menggenangi rumah masyarakat disekitar kali, namun setelah
pengerjaan kali itu selesai, kebiasaan masyarakat pun kembali ‘normal’ yaitu membuang
sampah pada tempatnya yaitu pinggir kali, akibatnya sampah-sampah itu masuk kedalam
kali dan terbawa arus hingga hilir. Jika kita melihat kondisi banjir di sebrang
kota jambi, hampir dipastikan sampah-sampah berserakan terbawa genangan air.
Walaupun kondisi ini sudah membuat masyarakat terbiasa, namun sampah-sampa
masih saja banyak bertebaran, tidak ada upaya masyarakatuntuk berbenah diri.
Inilah kondisi yang digambarkan Allah dalam firmanya.
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi
Jika saja manusia lebih bersyukur atas nikmat yang telah
Allah karuniakan yaitu perawatan terhadap fasilitas pembersihan sungai,
kejadian banjir air dan banjir sampah tidak akan terjadi di kampung-kampung
yang letaknya dipinggir ataupun ditengah kota seperti tempat tinggal saya.
Bentuk kufur nikmat atau tidak mengakui nikmat Allah
lainnya dalam masyarakat sekarang adalah tidak adanya perhatian masyarakat
untuk pengembangan islam kepada generasi berikutnya. Hal ini ditunjukkan dengan
ramainya warung-warung internet yang diisi oleh anak-anak dibandingkan langgar
untuk belajar sembahyang dan mengaji di tempat saya tinggal. Padahal tempat
ibadah yang dibangun itu dibangun dengan kesungguhan dan usaha luar biasa dari
para pendahulu dikampung kami tinggal. Dampak yang ditimbulkan tak main-main. Seperti
makin sering orang yang baru menikah beberapa bulan tapi telah melahirkan anak,
atau kasus-kasus kriminalitas dimasyarakat yang melonjak tajam. Padahal, jika
kita bandingkan dengan negara-negara yang penduduk muslimnya minoritas, untuk
membangun sebuah masjid saja di Amerika membutuhkan waktu empat puluh tahun
hanya untuk mengurus surat perijinan. sedangkan kita, bisa dipastikan jika
ingin membangun masjid atau langgar, masyarakat akan berlomba-lomba berinfaq
dari pada berlomba-lomba meramaikan masjid.
Jika saja setiap warga memiliki rasa saling memiliki,
pasti Langgar-Langgar dan tempat ibadah yang telah di bangun itu tidak akan
kosong ketika azan subuh berkumandang. Padahal disebuah desa di pelosok Garut
Jawa Barat, masyarakatnya rela bergotong-royng bersama untuk mebangun Masjid mereka
yang sudah 3 tahun tidak siap-siap, itu merupakan salah satu ungkapan syukur
mereka atas rasa persaudaraan sebagai muslim.
Bentuk-bentuk kufur nikmat lainnya juga merambah keduania
akademisi, setiap penerimaan mahsiswa baru ataupun pelajar baru, kota jambi
akan di penuhi oleh ribuan pelajar yang akan mengasah kualitas intelektualnya.
Sebagai seorang mahasiswa, dituntut untuk memiliki wawasan yang luas dan tak
hanya tertumpu pada suatu jenis disiplin ilmu saja, seperti ilmu agama yang
melatar belakangi keilmuan mahasiswa di iain. Ada sebuah main set atau pola
pikir yang mendalangi itu semua. Jika diberi tugas, sebagian dari mereka jarang
yang berniat mencari di perpustakaan. Sebagian lagi lebih banyak memanfaatkan
fasilitas internet ‘copy paste’ hasil tulisan orang lain dan
mempresentasikannya di depan diskusi keilmuan yang agung. Mungkin sebagian dari
mereka beranggapan bahwa kuliah bukanlah sebuah nikmat besar dalm kehidupan,
sehingga dengan usaha sedikit saja mereka sudah berani menjamin bahwa mereka
akan lulus.
Dengan kondisi yang di perlihatkan hari ini bahwa pendidikan yang
tinggi hanya bisa diraih oleh sebagian anak yang ‘beruntung’, membuka mata kita
bagaimana kondisi mahasiswa saat ini.
Jujur saya katakan, ditempat saya tinggal tidak banyak yang mau
kuliah setelah tamat sekolah, hanya beberapa, kebanyakan alasan mereka karena
biaya yang mahal dan lebih memilih bekerja agar bisa mendapat penghasilan
sendiri. Bila di bandingkan dengan kampus, jujur saya akui pelajar-pelajar dari
kota jambi sendiri lebih tertarik untuk kuliah di luar daerah, luar negeri atau
kampus swasta umum di daerah ini. Maka jumlah urban “mahasiswa” membanjiri
kampus-kampus tertentu.
Tapi, nuansa kompetisi sangatlah kurang, mereka yang lebih senang
mengambil tugas dari internet dan nuansa diskusi yang kurang hidup, membuat
mereka tidak bersemangat untuk kuliah. Padahal mereka-mereka adalah putra-putra
terbaik daerah yang sangat dinantikan kontribusinya setelah lulus.
Jika mereka benar-benar memanfaatkan nikmat belajar yang telah
diberikan Allah, tentu sumberdaya manusia lokal sangat banyak manfaatnya dan
tidak membuat mahasiswa atau pelajar yang belajar ke luar daerah tidak kembali lagi
kedaerah asalnya, karena menganggap jika tetap di daerah yang suasana
kompetsinya kurang tdak akan mengeksplore atau menambah kemampuan mereka. Hal
ini lah yang menurut Dahlan Iskan[2]
membuat Provinsi Jambi tertingal di banding dua provinsi tetangganya yaitu Riau
dan Palembang. Sumber daya manusia(SDM) jambi lebih banyak bekerja di kedua
daerah tersebut, mengakibatkan terhambatnya perkembangn Provinsi Jambi.
Perkaranya sepele memang, hanya malas belajar dan menambah wawasan.
Tapi lihatlah dampaknya hari ini, semua orang sibuk memikirkan langkah apa
yangdapat membuat orang-orang yang sudah terlanjur berkarya di daerah lain agar
kembali ke Jambi. Hanya karena kurang bersyukur.
Contoh lain dari tidak bersyukur ini yang paling terdekat dengan
kehidupan kita sehari-hari adalah anak. Dilingkungan tempat saya tinggal, saya
ingin membandingkan dua buah keluarga dengan kondisi yang berbeda. Satu
keluarga merupakan keluarga kecil, memiliki dua ornag anak perempuan. Anak
pertama mereka saat ini telah berusia 13 tahun namun tumbuh dengan kondisi
keterbelakangan mental. Sedangkan anak kedua mereka tumbuh dengan normal.
Disinilah objek pengamatan kita. Dengan kondisi anaknya yang pertama ini, orang
tua anak tersebut seperti tiddak meneriman akan kondisi anaknya, orang tuanya
sering memperlakukan anaknya dengan kasar karena naknya lambat mengerti apa yang orang tuannya
inginkan sedangkan anak kedua meeka yang berhasil meraih rangking satu
diperlakukan berbeda dari anknya yang pertama. Padahal, fitrahnya setiap anak
adalah titpan Allah yang wajib dipelihara dan diberi kasuh sayang tanpa pilih
kasih. Padahal di sekitar rumah kami ada pula orang tua yang sudah puluhan
tahun menikah tapi belum juga di karuniai anak.
Deskripsi kufur nikmat yang tak begitu dipaham dalam masyarakat,
menimbulkan spekulasi bahwa syukur hanya akan di luapkan ketika hari lebaran
dengan menunaikan kewajiban zakat fitrah atau membeli hewan kurban saat hari
raya adha datang. Setelah itu, sedikit d i antara kita yang masih memaknai
syukur dengan berbagi atau memanfaatkan karunia yang telahAllah berikan dalam
kebermanfaatan.
Komentar
Posting Komentar